Senin, 21 September 2009

Bahtsul Masail 01

Pondok Pesantren, sebagai suatu padepokan untuk memperdalam ilmu agama, sejauh ini dipahami sebagai tempat yang sejuk, tenang, dan damai. Di dalamnya para cantrik (santri) mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter, sementara pengasuh pesantren (kiai) menyerahkan diri dan jiwa mereka dengan tulus untuk memberikan pengajaran dan teladan hidup. Kiai adalah sosok pemimpin yang tunggal dalam Pesantren, dia selalu sebagai panutan dan tauladan kehidupan bagi para santri.

Persepsi masyarakat umum yang beranggapan bahwa pondok pesantren cenderung melestarikan tradisi feodal, kepemimpinan yang sentralistik dan otoriter tentu saja merupakan persepsi yang keliru dan tidak berdasar kenyataan. Di lingkungan pondok pesantren ada tradisi unik dalam menyelesaikan problem-problem yang berkembang di masyarakat, baik masalah agama maupun problematika kebangsaan dengan cara bertukar pikiran sesama santri maupun sesama para kiai. Tradisi itu namanya bahtsul masail (forum pembahasan masalah).

Bahtsul masail adalah merupakan forum pembahasan masalah-masalah yang muncul di kalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam agama. Peserta bahtsul masail terdiri dari para kiai pakar ahli fiqh dan kalangan profesional yang bersangkutan dengan masalah yang dibahasnya. Uniknya, masalah-masalah yang dibahas tidak hanya masalah agama tetapi juga masalah perkembangan politik yang aktual. Misalnya, bahtsul masail yang baru-baru ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Sidogiri, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Bahtsul masail yang diikuti 180 utusan Pondok Pesantren dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama se-Jawa Timur.tersebut membahas tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam forum tersebut para peserta membahas pemilihan kepala daerah menurut dalil-dalil agama (fiqh), selain hukum negara yang ada. Sebab dalam prakteknya Pemilihan Kepala Daerah banyak ditemukan praktek-praktek politik uang (money politic).

Selain tujuannya sebagai forum pembahasan masalah yang berkembang di masyarakat, bahtsul masail juga sebagai forum untuk membangun ukhuwah dan interaksi antar pesantren dan kegiatan ini biasanya dilaksanakan rutin, baik setiap bulan maupun tahun, dan tempatnya bergilir di beberapa pesantren. Masalah-masalah yang akan dibahas dalam bahtsul masail merupakan usulan dari berbagai pesantren. Usulan masalah itu dikumpulkan dan disaring oleh panitia untuk menjadi tema pembahasan bersama dalam forum tersebut. Bahtsul Masail dilakukan dengan dua cara, yaitu Bahtsul Masail waqi'iyah (aktual) dan Bahtsul Masail maudhu'iyah (tematik). Dengan demikian, pembahasan menjadi lebih luas dan lebih berkembang, baik dalam forum Muktamar NU maupun forum Munas Alim-Ulama NU.

Tradisi pengambilan keputusan hukum model bahtsul masail di lingkungan pondok pesantren dan di kalangan Nahdlatul Ulama mempunyai tujuan antara lain :

Pertama, supaya NU memiliki pedoman dalam menetapkan hukum, sehingga semua keputusan di dalam bahtsul masail harus berpegang pada cara-cara yang telah ditetapkan di dalam sistem yang sudah disepakati.

Kedua, dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya mauquf atau tertundanya suatu masalah karena tidak ada nash atau tidak ada qaul dalam al-kutubul-mu'tabarah, atau tidak ada aqwal (pendapat), af'al (perilaku) dan tasharrufat dari assabiqunal awwalun (para perintis) NU. Bahtsul masail juga dimaksudkan untuk menghindarkan munculnya jawaban terhadap berbagai persoalan tanpa pedoman yang benar.

Ketiga, adalah sistem ini sekaligus memberikan penjelasan bahwa bermadzhab di lingkungan Nahdhatul Ulama menggunakan pendekatan qauli (produk pemikiran) dan manhaji sehingga tidak mungkin terjadi kesulitan dalam merespon setiap persoalan yang terjadi, baik yang menyangkut aspek diniyah maupun ijtima'iyah, aspek ekonomi, sosial, politik ataupun aspek-aspek lainnya.

Dengan demikian, pesantren yang selama ini dianggap melestarikan tradisi feodalistik dan otoriter justru merupakan perintis dalam berkembangnya tradisi dialog yang setara dan demokratis melalui bahtsul masail. Kalangan pesantren justru merupakan komunitas yang telah terbiasa dengan perbedaan pendapat -dan yang lebih penting- menyelesaikan segala perbedaan pendapat dengan cara-cara dialog yang damai dan demokratis, bukan dengan kekerasan apalagi sampai menutup rumah ibadah umat lain yang berbeda agama dan aliran. Wallahu A'lam. (Rmi/Alf)

Sumber : Gus Mus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TOP