Rabu, 29 September 2010

Nominalisasi Zakat Fitrah

Zakat itu ada dua. Pertama zakat badan, yaitu zakat fitrah. Kedua, Zakat mal. Untuk zakat mal ada dua jenis. Yang pertama berhubungan dengan keuangan dan permodalan, yaitu seperti zakat tijarah. Dan yang kedua berhubungan dengan kebendaan, yaitu seperti zakat hewan peliharaan, zakat benda berharga dan zakat tanaman. (Raudhatut Thalibin Wa ‘Umdatul Muftin, An-Nawawi, bab zakat na’am, juz 1 hal 196)

Zakat Fitrah adalah salah satu dari beberapa jenis zakat yang dalam rukun Islam terdapat pada urutan sesudah syahadat dan shalat. Ia mulai diwajibkan untuk dilaksanakan bersamaan dengan mulai disyari’atkannya puasa bulan Ramadhan yaitu pada tahun ke-2 Hijriyah. Al-Qur’an sering menyebut perintah wajib menunaikan zakat bergandengan dengan perintah menunaikan shalat. Ini artinya perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Namun demikian, kenyataannya rukun Islam yang ketiga ini masih belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pengelolaan dan distribusi zakat di masyarakat masih memerlukan bimbingan, baik dari segi syari’at maupun perkembangan sosial. Misalnya pendistribusian terhadap delapan ashnaf sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60, pengelolaan oleh amil, pembayaran zakat fitrah dengan uang, dan lain-lain yang sampai sekarang masih menjadi kontroversi.

Zakat fitrah adalah adalah salah satu kewajiban yang ditetapkan Rasulullah Saw ketika selesai melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan. Berkata sahabat Abdullah bin Umar ra “Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa diantara kaum muslimin”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun besar kadar yang wajib dikeluarkan kisarannya ialah 1 sha’ dari makanan pokok di masing – masing negara. 1 Sha’ itu secara umum di masyarakat Indonesia sementara ini disetarakan dengan takaran 2.5 Kg. Padahal menurut perhitungan yang lazim 1 sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan satu mud sama dengan 6,75 ons. Jika memakai kelaziman ini maka 1 sha’ perhitungannya kurang lebih sama dengan 27 ons atau 2,7 Kg.

Pembakuan 2,5 kg ini barangkali untuk mencari angka tengah-tengah antara pendapat yang menyatakan 1 sha’ adalah 2,75 kg, dengan 1 sha’ sama dengan di bawah 2,5 kg. Sebab menurut Imam Ar-Rafi’i 1 sha’ itu sama dengan 693 1/3 dirham. Jika dikonversi dalam satuan gram, sama dengan 2,751 gram (2,75 kg). Kemudian Al-Fiqhul Manhaj, Juz I, hal 548, menyebutkan 1 sha’ adalah setara dengan 2,4 kilo gram. Didalam kitab As_Syarqawi, Juz 1, hal 371 disebutkan bahwa Imam An-Nawawi menyatakan 1 sha’ sama dengan 683 5/7 dirham. Jika dikonversi dalam satuan gram, hasilnya tidak jauh dari 2176 gram atau 2,176 Kg.

Berkata sahabat Abu Sa’id Al-Khudri ra, “Kami mengeluarkan pada hari raya ‘Idul Fitri pada masa Nabi Saw satu sha’ daripada makanan. Dan makanan kami saat itu adalah gandum sya’ir, anggur kering (kismis), susu yang dikeringkan dan kurma”. (HR. Bukhari). Dari khabar ini, mayoritas ulama Syafi’iyyah mengambil sikap pernyataan bahwa mengeluarkan zakat fitrah dengan bentuk nilai makanan seperti memakai uang misalnya hukumnya menjadi tidak sah.

Lain Syafi’iyyah lain pula Hanafiyah. Bagi para ulama Hanafiyah, mereka memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Namun ukuran satu sha’ menurut madzhab ini nilainya lebih tinggi dari pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg sebagaimana tercantum dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya Wahbah Zuhailli. Menurut Imam Abu Hanifah 1 sha’ nilainya adalah 8 rithl ukuran Irak. Satu Rithl Irak sama dengan 130 dirham atau sama dengan 3800 gram (3,8 kg).

Imam Abu Yusuf menyatakan, “Saya lebih senang berzakat fitrah dengan uang dari pada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan miskin”. (Lihat Dr. Ahmad al-Syarbashi, Yas alunaka fid Dini wal Hayat, Beirut: Dar al Jail, Cet. ke III, 1980, Juz II, hal. 174). Juga Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya menyatakan, “Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang (harganya)”. Baca Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Kairo, Darul Qalam, cet. ke III , 1966, hal. 120. Kedua tokoh ini membolehkan zakat fitrah dengan uang dan di dalam bukunya tersebut memang tidak dijelaskan berapa ukuran sha’ menurut mereka. Namun sebagai tokoh ulama Hanafiyyah, kemungkinan kecil mereka memakai ukuran madzhab lain (selain Hanafi).

Syeikh Qais Mubarok salah seorang anggota komisi fatwa Arab Saudi menetapkan ukuran nilai zakat fitrah itu adalah 25 Riyal Saudi (diukur dari harga 3.8 Kg kebutuhan pokok masyarakat Saudi). Atau dalam masyarakat Indonesia pada waktu tulisan ini dibuat sebanding dengan Rp 65.000,00. Jadi kalau mau mengikuti pendapat yang memperbolehkan zakat fitrah dengan uang maka pembayarannya bukan antara Rp 15.000 sampai dengan Rp 16.250 dimana ukuran yang dipakai adalah 2.5 Kg beras kali @ Kg = Rp 5.700 – Rp 6.500. Namun yang harus dibayarkan adalah Rp 65.000 – Rp 75.000 atau lebih dari itu.

Yang wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah orang yang mempunyai kelebihan dari nafkah kebutuhannya untuk hari ‘idul fithri dan malamnya. Seseorang wajib mengeluarkannya untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang berada dalam tanggungannya seperti isteri, anak, kerabat yang ikut ataupun para pembantu jika mereka tidak mampu mengeluarkannya untuk diri mereka sendiri. Namun jika mereka mampu maka yang lebih afdhal adalah mereka mengeluarkannya sendiri.

Zakat fitrah wajib dikeluarkan sebelum dilaksanakannya shalat ‘id. Namun diperbolehkan mengeluarkannya pada satu atau dua hari sebelum ‘id sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Umar ra. Namun dalam kitab – kitab Syafi’iyyah kebolehan mengeluarkan zakat fitrah sebelum datangnya ‘id yang disebut dengan istilah ta’jil ini dapat dimulai semenjak awal masuk Ramadhan.

Tidak sah hukumnya, apabila zakat fitrah itu dikeluarkan setelah shalat ‘id berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat (‘id), ia menjadi zakat yang diterima dan barangsiapa yang mengeluarkannya setelah shalat (‘id), maka ia menjadi sedekah biasa. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dll dengan sanad sahih).

Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) baik zakat fitrah atau zakat mal, yaitu sesuai dengan firman Allah SWT :

Artinya, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah : 60)

Delapan golongan yang berhak menerima zakat sesuai ayat di atas adalah :

1. Fakir, yaitu orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Miskin, yaitu orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Amil, yaitu orang yang diangkat Imam dan diberi tugas untuk mengumpulkan serta membagikan zakat.
4. Muallaf, yaitu orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah.
5. Riqab, yaitu budak sahaya
6. Gharim, yaitu orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya.
7. Fi Sabilillah, yaitu orang yang berjuang (berjihad) untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin
8. Ibnu sabil, yaitu orang yang dalam perjalanan musafir dan bukan untuk maksiat namun dirinya mengalami kehabisan perbekalan dalam perjalanannya tersebut.

Boleh diberikan beberapa zakat fitrah kepada seorang fakir miskin dan boleh pula zakat fitrah yang diterimanya dipergunakan untuk membayarkan zakat fitrahnya sendiri dan orang-orang yang dalam tanggungannya.

Hari raya telah dekat. Ingat tunaikan zakat. Mau mengikuti pendapat yang mengharuskan zakat fitrah dengan makanan pokok suatu negara atau yang memperbolehkan dengan nilai penggantinya, semua diserahkan pada keyakinan dan kemantapan masing – masing. Penulis sendiri adalah pengikut Syafi’iyyah. Namun tetap menghargai pada pendapat Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Selamat ‘Idul Fithri 1430 H. Mohon maaf lahir dan batin. Minal ‘Aidin Wal Faizin.
Sumber : http://al-kahfi.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TOP